Kau ? Dia ? Mereka ? Tuhan ? (Hilanglah)
‘Hai, sudah lama disini?’
‘Belum.
Kurang lebih 10 menit.’
‘Bagaimana
harimu?’
‘Hmm,
seperti biasanya saja selalu begitu saja.Bagaimana denganmu?’
‘Aku
juga seperti biasa. Bangun pagi. Beres- beres kamar. Siapkan sarapan. Mandi. Sarapan.
Make-up. Berangkat kerja. Sampai kantor kejar target. Makan siang di cafeteria.
Kejar target lagi. Pulang kerja. Sampai di kafe ini, pesan cappuccino. Duduk
dikursi ini. Dan satu yang tak biasa. Kamu tau apa?’
‘Tidak.
Apa itu?’
‘Kamu.
Ya, kamu. Tak biasanya kutemui orang duduk bersamaku disini hehe.’
‘Oh,
mungkin dihari selanjutnya kebiasaanmu akan kembali lagi seperti biasanya.’
‘Hmm,
iya. Maksudmu tak akan datang lagi ke tempat ini? Benarkah?’
‘Sepertinya
iya. Aku tak bisa selalu datang ketempat ini. Kau tau sendiri keadaanku. Dan
tidak mungkin juga selalu saja aku ditraktir di kafe ini hehe.’
‘Oh.
Kamu bisa saja datang kapan pun kamu punya waktu dan kupikir kamu kalau butuh
teman bercerita kamu tau jam berapa aku berada disini.’
‘Ya.
Aku mungkin akan datang lagi ke tempat ini.Tapi tak dapat kupastikan.’
‘Kamu
tak perlu berjanji. Kapan ada waktu dan keinginanmu kesini, datanglah.’
‘Hehe,,’
‘Boleh
aku tau apa sebenarnya yang menjadi bebanmu, bukankah harusnya orang yang baru
pulih dari sakit itu butuh istirahat?’
‘Hmm.
Iya dokter menganjurkanku untuk bedrest selama 6 bulan ini. Tetapi dengan
kondisi seperti ini kupikir tak ada alasan untuk menunggu 6 bulan. Aku makan
apa dikota ini nantinya. Belum lagi impianku yang belum tersampaikan itu. Aku
harus memulainya lagi.’
‘Jika
kamu mulai bekerja sekarang apa tidak ada efeknya terhadap kesehatanmu? Apa sih
impianmu itu?’
‘Kenapa
kamu sangat penasaran begitu, mau tau saja kamu!’
‘Aku
serius. Boleh aku tau?’
‘Sejak
wisuda sekitar dua setengah tahun yang lalu aku berencana untuk sekolah lagi.
Tahun ini harusnya terwujud, namun penyakit menggagalkan semuanya. Empat bulan
ini aku bergelut dengan penyakitku hingga aku melewatkan apa yang sudah
kurencanakan sebelumnya. Buyar semua.’
‘Ternyata
kamu lulusan sarjana. Kenapa tak mencoba untuk cari kerja saja?’
‘Banyak
orang juga tak yakin dan setelah tahu pastii merekomendasikan untuk cari kerja.
Apakah jadi petani itu bukan sebuah pekerjaan?’
‘Hmm,
bukan maksudku merendahkan pekerjaanmu. Hanya saja lebih baik kalau kamu
bekerja ditempat yang ..’
‘Berkelas
maksudmu? Haha.. apa jadinya manusia kalau para petani tak lagi bekerja?
Masihkah kita sombong? Kuharap pemikiran kita sudah saatnya sedikit
dijernihkan.’
‘Kamu
memang benar. Tapi apakah tidak merugi kamu seorang lulusan sarjana loh!’
‘Aku
tak terlalu memikirkan tentang jenjang pendidikan yang sudah kucapai. Aku akan
menggunakan gelar akademik itu kelak, belum saatnya saja.’
‘Baiklah.
Tak perlu kamu terlalu tegang begitu. Aku hanya memberi saran saja terhadapmu.
Tak bermaksud untuk menggurui tentang pekerjaanmu sekarang hehe.’
‘Ya.
Saranmu ada baiknya juga. Belum saatnya saja
aku bekerja seperti itu. Kita bicarakan hal lain saja.’
‘Baiklah.
Semoga kamu peroleh yang terbaiklah dalam hidupmu.’
‘Ya.
Kamu juga.’
‘Dan
seperti biasanya waktu sudah habis ditempat ini. Aku harus pulang. Kita akan
bertemu lagi bukan?’
‘Hmm,,
mungkin. Aku tak yakin.’
‘Baiklah
kali ini aku mentraktirmu kebetulan sekali hari ini aku gajian dari kantor.
Tidak apalah, sekalian nambah stok utang yang akan kau bayar kelak pas kita
ketemu lagi.’
‘Mungkin
aku tak akan ke tempat ini lagi. Aku tak bisa menjanjikannya.’
‘Tak
mengapa. Mungkin kita akan bertemu dilain waktu atau dilain tempat, kamu harus
mentraktirku. Okey?’
‘Iya.
Semoga saja.’
‘Aku
pergi. Sampai jumpa lagi.’ Sambil berjalan ke arah sang pelayan kafe, setelanya
perempuan itu berlalu dari pintu itu lagi.
Berbicara. Bercerita. Aku tak bisa
menjelaskannya. Namun satu yang pasti bahwa kami saling berargumen tanpa saling
berbagi nama. Sebuah penokohan yang sangat samar bukan antara aku dan perempuan
itu? Lupa atau memang tak ingin saling tau. Entahlah.
Sekarang mulutku diam. Membran dalam
otakku mulai saling berinteraksi kembali.
‘Apa yang aku takutkan dengan semua ini? Keadaan
sekarang ini? Bukankah hal seperti ini akan selalu silih berganti? Memang tak
mudah untuk merubah semuany. Mungki lelah ini hanya sementara. Sebentar saja,
tidak menyerah dan tetap tersenyum semua akan sedikit lebih mudah.’
‘Dunia belum berhenti melingkar searah begitupun
setiap masalah sialan itu pasti akan datang bergantian. Apa aku masih mampu? Aku
tak yakin. Kita lihat saja. Akan kucoba sebagaimana mampuku. Berharap aku tak
terhenti seperti kemarin itu.’
‘Kau? Dia? Mereka? Tuhan? Entahlah,’
‘Mungkin untuk lupa adalah sesuatu hal yang sangat
langka. Aku hanya berharap otakku tak lagi terlalu memikirkannya.’ Sejenak
kupejamkan mataku, kuhentikan pemikiranku. Aku bergegas keluar dari kafe ini.
‘Sampai bertemu lagi.’
Salam,
Jhon Fharirdho Ambarita

Komentar
Posting Komentar