Untitled
“Buram. Usailah
hari-hariku yang kosong. Harapku, terbang (terbanglah) tinggi. Hey, jiwaku !
Bangunlah dari lelapmu.”
Agustus 2016, adalah masa dimana hari-hariku penuh dengan kekosongan. Aku dipenjara oleh keadaanku. Ya, sepertinya kenyataan berusaha menyudutkanku pada satu titik yang lebih condong pada lara jiwa. Aku terasingkan. Aku dijajah.
Kenyataan dengan kesewenangannya menahanku tergilas oleh roda waktu yang angkuh. Kejam. Apakah dengan begini semua kesalahan yang pernah kuperbuat sudah terbayarkan? Haha… kupikir tidak. Tetapi mengapa ? Apakah jika aku menyerah atau jika aku mengakui segala kesalahan yang telah kuperbuat laraku terobati?
Tak baik juga aku menyalahkan kalian. Kau, dia apalagi mereka. Kalian tak salah. Akupun tak patut dipesalahkan, meskipun hasrus kuakui memang. Bahwa akulah si Tersangka dan akulah si Korban. Kajian yang sulit untuk dimengerti. Silahkan nilai sendiri seperti apa ulahku.
Lagi dan lagi penyakit ini mengerogoti tubuhku. Efusi pleura atau adanya penumpukan cairan diparu-paru. Ya, aku sedang berjuang melawan penyakit ini. Pertengahan tahun 2013, dokter mendiagnosa efusi pleura mendera paru-paru kiriku. Perawatan medis dilakukan, cairan dikeluarkan dengan cara operasi lalu cairan disedot menggunakan mesin. Aku tak tahu persis apa nama mesin tersebut. Namun yang pasti 4700 cc cairan berhasil dikeluarkan berkat kinerja nyatanya. Setelahnya aku diharus menjalani rawat jalan selama 6 bulan penuh. Check up 1 kali dalam seminggu. Mengkosumsi obat resep dokter spesialis paru setiap harinya. Sangat menyedihkan kala itu.
Skripsi yang deadline sebagai adrenalinku. Ya, skripsi mengharuskanku selalu berpikir dan bergerak hingga aku lupa bahwa sebenarnya tubuhku butuh sedikit istirahat lebih. Tetapi demi gelar sarjana aku mengacuhkannya. Sibuk mencari bahan referensi skripsi, menemui dosen pembimbing skripsi hingga revisi yang menumpuk. Aku lupa. Aku telah lupa kalau tubuhku membutuhkan perhatianku kala itu. Sekitar 2 bulan masa rawat jalan masih rutin kujalani. Namun karena intensitas deadline skripsi, aku mengabaikan kewajibanku untuk tetap memeriksakan diri ke rumah sakit. Disatu sisi aku pikir kalau aku telah sehat dan tak perlu lagi harus melanjutkan perawatan. Apalagi setelah aku berhasil meraih gelar sarjana. Euporia membuatku lupa bagaimana sebenarnya aku.
Setelahnya, impian membawaku untuk semakin lupa diri. Proggram pasca sarjana adalah destinasi yang ingin kutuju. Namun untuk sampai kesana bukanlah hal yang mudah. Kuputuskan untuk tidak menggunakan gelar sarjanaku, aku tak pernah sekalipun melayangkan surat lamaran keinstansi atau perusahaan manapun. Aku memilih wirausaha. Aku menjadi petani. Dan hasilnya setelah dua tahun, aku hampir saja menggapai impianku andai saja aku tak memikirkan biaya yang harus kusediakan sebagai administrasi awal perkuliahan. Kupikir uang sebanyak itu jika digunakan sebagai modal dalam usaha akan menghasilkan uang yang lebih banyak. Kuurungkan impianku, kuikuti pikiranku.
Dibalik kesibukanku sebagai petani, aku mulai sering measakan sesak didada sebelah kiri dan terkadang disertai batuk yang sangat menggangguku. Desember 2015, aku kembali ke kota untuk medical check up. Dan hasil foto scanning menurut analisis dokter spesialis menyatakan bahwa peradangan kembali terjadi diparu-paruku. Sang dokter mengajurkanku untuk menjaga kesehatan. Beliau juga berkata : ‘banyak racun kimia mengendap disaluran pernapasan dan juga paru-parumu, gantilah profesimu.’ aku selalu ingat itu. Sejak itu kuputuskan tidak lagi aktif langsung sebagai pelaku dalam proses pertaniaan yang kugeluti. Dan aku mencoba melebarkan sayap dengan usaha ternak bebek yang baru saja kumulai sejak Mei 2016.
Tetapi apa daya, tetap saja si Efusi pleura unjuk gigi. Akhir bulan Juli dan awal Agustus 2016, aku mengalami demam tinggi, batuk dan selera makanku turun drastis. Rumah sakit kembali jadi tempat persinggahan. Kembali dijajah demi kebebasan dimasa depan. Semoga saja aku mampu.
Salam,
Jhon Fharirdo Ambarita

Komentar
Posting Komentar